Sejarah Hukum Indonesia
• Periode Kolonialisme
• Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
• Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
• Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
1. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa.
Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk
oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik
pada zaman itu telah menyampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan
menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa
itu.
b. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya
disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia
Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan
usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur
perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan
pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement)
RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama
Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang
bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara
kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan
pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi,
termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga
perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan,
khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya
dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan peraturan perundang-undangan
yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan
kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1)
Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme
lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga
golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan
Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh
peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan
militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa
orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan
perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula
hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga
untuk orang-orang Cina; 2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam
peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,
pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan dualisme/pluralisme
tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi
kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5)
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan
hukum dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah
pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan
nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan
melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan
pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang
bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada
adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau
mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka
terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian
yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh
badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar
pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang
Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan
doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan
di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan?
menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3) Memberikan peluang
kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas
proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4)
Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali
sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang
lebih situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru
justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan
pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan?
pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di
Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan,
dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan
lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran
hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah
terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan
kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1)
Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum
dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih
kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas
jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum
memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak
hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat
masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini
dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses
peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta
peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara
mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu,
pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
0 komentar:
Posting Komentar